Alat komunikasi ‘Kentongan’
Kentongan atau
yang dalam bahasa lainnya disebut jidor adalah alat pemukul yang terbuat
dari batang bambu atau
batang kayu jati
yang dipahat.
Kegunaan
kentongan didefinisikan sebagai tanda alarm, sinyal komunikasi jarak
jauh, morse,
penanda adzan,
maupun tanda bahaya. Ukuran
kentongan tersebut berkisar antara diameter 40cm dan tinggi 1,5M-2M. Kentongan
sering diidentikkan dengan alatkomunikasi zaman dahulu yang sering dimanfaatkan oleh
penduduk yang tinggal di daerah pedesaan dan pegunungan.
Sejarah
Sejarah
budaya kentongan sebenarnya dimulai sebenarnya berasal dari legenda Cheng Ho dari
Cina yang mengadakan perjalanan dengan misi keagamaan. Dalam perjalanan
tersebut, Cheng Ho menemukan kentongan ini sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Penemuan
kentongan tersebut dibawa ke China, Korea, dan Jepang. Kentongan sudah ditemukan sejak awal masehi.
Setiap daerah tentunya memiliki sejarah penemuan yang berbeda dengan nilai
sejarhnya yang tinggi. DiNusa Tenggara Barat, kentongan ditemukan ketika
Raja Anak Agung Gede Ngurah yang berkuasa sekitar abad XIX menggunakannya untuk
mengumpulkan massa. Di Yogyakarta ketika masa kerajaan Majapahit, kentongan Kyai
Gorobangsa sering digunakan sebagai pengumpul warga.
Di Pengasih, kentongan
ditemukan sebagai alat untuk menguji kejujuran calon pemimpin daerah.
Di masa sekarang ini, penggunaan kentongan lebih bervariatif.
Kentongan
merupakan alat komunikasi zaman dahulu yang dapat berbentuk tabung maupun
berbentuk lingkaran dengan sebuah lubang yang sengaja dipahat di
tengahnya. Dari lubang tersebut, akan keluar bunyi-bunyian apabila
dipukul. Kentongan tersebut biasa dilengkapi dengan sebuah tongkat pemukul
yang sengaja digunakan untuk memukul bagian tengah kentongan tersebut untuk
menghasilkan suatu suara yang khas. Kentongan tersebut dibunyikan dengan irama yang
berbeda-beda untuk menunjukkan kegiatan atau peristiwa yang berbeda. Pendengar
akan paham dengan sendirinya pesan yang disampaikan oleh kentongan tersebut.Awalnya,
kentongan digunakan sebagai alat pendamping ronda untuk
memberitahukan adanya pencuri atau bencana alam. Dalam masyarakat pedalaman,
kentongan seringkali digunakan ketika suro-suro kecil atau
sebagai pemanggil masyarakat untuk ke masjid bila jam salat telah tiba. Namun,
kentongan yang dikenal sebagai teknologi tradisional ini
telah mengalami transformasi fungsi. Dalam masyarakat modern, kentongan
dijadikan sebagai salah satu alat yang efektif untuk mencegah demam
berdarah. Dengan kentongan, monitoring terhadap pemberantasan sarang
nyamuk pun dilakukan. Dalam masyarakat tani, seringkali menggunakan
kentongan sebagai alat untuk mengusir hewan yang merusak
tanaman dan padi warga.
Kentongan
dengan bahan pembuatan dan ukurannya yang khas dapat dijadikan barang koleksi
peninggalan seni budaya masa
lalu yang dapat dipelihara untuk meningkatkan pemasukan negara. Kentongan
dengan bunyi yang khas dan permainan yang khas menjadi sumber penanada tertentu
bagi masyarakat sekitar. Selain itu, kentongan merupakan peninggalan asli
bangsa Indonesia dan memiliki nilai sejarah yang tinggi. Perawatannya juga
sederhana, tanpa memerlukan tindakan-tindakan khusus.
Kentongan
masih banyak kita temui dalam masyarakat modern, namun
fungsi kentongan sebagai alat komunikasi tradisional memiliki sejumlah
kekurangan yang menyebabkan tergesernya kentongan tersebut dengan teknologi modern. Kegunaan
kentongan yang sederhana dan jangkauan suara yang sempit
menyebabkan kentongan tidak menjadi alat komunikasi utama dalam dunia modern
ini.Di
era globalisasi sekarang ini alat komunikasi telah berkembang jauh melebihi
batasan pemikiran sebagian besar manusia. Ketiadaan batasan ruang dan waktu
membuat orang berlomba-lomba menciptakan beragam penemuan yang lebih praktis
dan lebih luas jangkauannya.
Kentongan
pada masa sekarang digunakan lebih bervariasi seperti digunakan sebagai
instrumen musik,
namun sampai sekarang masih digunakan sebagai alat komunikasi seperti alat
untuk mengumpulkan orang atau member peringatan kepada sekitar. Berikut
beberapa sandi kentongan:
1. Doro
muluk
Doro berarti burung dara dan muluk
berarti terbang. Terbang yang dimaksud terbang yang tegak ke atas. Bukan
terbang biasa. Kentongan dengan nada ini untuk member tahu masyarakat bahwa ada
warga yang meninggal. Kentongan doro muluk ada dua jenis yaitu doro muluk dua
kali dan doro muluk tiga kali. Doro muluk dua kali jika yang meninggal
masih anak – anak dan doro muluk tiga kali untuk yang meninggal orang dewasa.
Nada sangat khas. Pukulan pertama dan ke dua ada jeda sesaat. Selanjutnya
pukulan ketiga dan seterusnya semakin cepat dengan suara yang melemah, setelah
mencapai titik suara terendah ada jeda sesaat terus menguat lagi namun lambat
interval pukulannya. Jika yang meninggal dewasa diulangi tiga kali dan kalau
yang meninggal anak – anak cukup dua kali. Doro muluk biasanya dilakukan
oleh pak lurah dukuh, karena kewenangan mengabarkan kematian itu ada pada pak
Lurah dukuh. Maka setiap kali ada suara kentongan seperti ini, warga
masyarakat serta merta menghentikan apapun aktifitasnya, sambil mencari dari
mana sumber suara kentongan. Kemudian mereka akan tahu warga dukuh mana yang
meninggal.
2. Titir
Kentongan Titir dibunyikan untuk
memberitahukan masyarakat ada bahaya mendadak dan sangat berbahaya yang
membutuhkan pertolongan cepat dari seluruh warga. Misalnya ada kebakaran rumah,
bajir atau bencana alam lainnya. Nada suara kentongan titir, kentongan dipukul
secepat – cepatnya tanpa nada tinggi rendah suara. Suara itu mencerminkan
kepanikan dari warga. Kentongan titir boleh dibunyikan oleh seluruh warga yang
membutuhkan pertolongan.
3. Kentong
sepisan
Kentong sepisan ini dibunyikan untuk
memberitahukan kepada seluruh atau sebagian warga untuk berkumpul/klumpukan
baik untuk melakukan musyawarah maupun kerja bakti. Nada suara
kentong sepisan ini juga terdengar santai dan tenang. Dari keras lalu semakin
lemah hingga suara paling lemah kemudia mengeras lagi. Interval antar
pukulan juga sangat terasa tidak tergesa – gesa. Kentong sepisan ini bisa
dibunyikan oleh pak lurah desa maupun pak lurah dukuh. Tergantung
kepentingannya.
4. Sambang
Kentong sambang ini biasanya dibunyikan
pada malam hari menjelang tengah malam dan sesudahnya. Kentong sambang ini
bermakna kurang lebih mengabarkan bahwa masih ada yang berjaga/belum
tidur. Biasanya setelah seorang warga membunyikan kentong sambang akan
segera disambut oleh warga lain yang sama – sama belum tidur.
5. Gobyog
Kentong gobyog biasanya dibunyikan pada
masa – masa tertentu dalam petungan bulan jawa. Saya tidak begitu paham ini
bermakna apa. Tapi seingat saya saat memasuki ‘mongso labuh’ ( awal musim
penghujan ) dan warga masyarakat mulai menanam, setiap sore menjelang waktu
magrib masyarakat beramai – ramai membunyikan ketongan.
Kentongan dengan bentuk
yang lebih kecil juga biasa digunakan oleh para pedagang keliling untuk
mengumpulkan para pembeli. Contoh tukang siomay dan penjual bakwan kawi yang
masih sering terlihat kentongan kecil di gerobaknya dan di bunyikan.
Kentongan
juga digunakan sebagai alat musik
tradisional yang dikombinasikan dengan berbagai alat musik termasuk alat musik
yang sudah modern sekalipun. Contohnya yaitu di daerah Banyumas dan Purbalingga
lebih terkenal digunakan sebagai alat untuk bermain musik.
Kedua daerah ini adalah kota kabupaten yang masih
tergolong dalam lingkup Povinsi Jawa Tengah. Dua daerah ini terkenal karena
telah memajukan seni musik Thek-Thek. Bunyi-bunyian kenthongan yang semula
hanya monoton dan tak memiliki nada dasar, kini menjadi suara yang enak untuk
didengar dan dirasakan.
Kegiatan menabuh kentongan sendiri berawal dari
kebiasaan penduduk yang melakukan ronda, yang biasanya berjumlah 4-5 orang
dengan menabuh kenthongan keliling desa. Namun kini, kenthongan atau sering
disebut dengan “thek-thek” dapat menjadi seni musik dengan ritme yang indah dan
enak didengar tanpa harus meninggalkan nuansa ketradisionalannya. Dan
masyarakatpun kemudian mengenal kenthongan juga sebagai alat musik.
Sekarang
seni musik Thek-Thek sudah banyak
diperlombakan di kedua daerah ini. Jumlah pemaiinnya rata rata 30-an
orang, selain kenthongan sebagai
alat musik utama, diiringi juga dengan alat musik
seperti Bedhug(biasanya 2
buah), Calung, Kecrek, Suling, Teplak dan Angklung. Juga ditambah
alat-alat lain
agar lebih berirama.Dikomandani oleh seorang Mayoret . Dari segi kostum
biasanya para pemain memakai
kostum yang seragam dan berwarna yang terkesan “ngejreng” supaya bisa
menarik perhatian penonton pastinya.
Lagu yang biasanya dibawain yaitu lagu Dangdut dan Campur
Sari. Tapi banyak juga lagu pop yang biasa diaransemen para pemain
supaya pas dimainkan menggunakan Thek-Thek.
Selain untuk lomba, grup-grup Tek-Tek juga digunakan
untuk ajang mencari nafkah. Biasanya ada yang keliling-keliling kampung dari
rumah kerumah. Grup-grup Tek-Tek juga banyak yang sudah profesional sekarang,
berani meminta bayaran di setiap pentas-pentasnya (biasanya yang grup
panggilan). Mereka juga sudah banyak yang tampil di daerah-daerah lain seperti
Cilacap, Kroya, Kebumen, Banjarnegara dan lainnya. Mereka selalu mendapat
sambutan yang meriah dari masyarakat setempat, karena alunannya yang enak
didengar dan lebih terkesan “merakyat” .
Disamping berdimensi budaya, seni kenthongan/”thek-thek” memiliki
nilai strategis dalam nation and
character building berupa
nilai-nilai kebersamaan, kesederajatan, kegotong royongan, cinta tanah air,
pembinaan kawula muda, serta menggugah semangat membangun melalui syair-syair
lagu yang dibawakan. Jumlah grup kenthongan di daerah Banyumas dan Purbalingga
jumlahnya sekarang sudah banyak. Bahkan sekarang hampir di setiap desa punya Grup Kentongan sendiri. Beberapa
contohnya yaitu Grup Gandrung
Laras dari Desa Ciberung Ajibarang, grup Paijo Ajibarang, Debita, Singo Laras, dan banyak lainnya.
Ada pula Guno
Tengoro adalah kelompok kesenian musik kentongan tuwo (tua) yang dimotori oleh
kelompok tani Gemah Ripah Loh Jinawi dan Muda-Mudi Dukuh Jantran Desa Pilang,
Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen.
Kentongan
kebanggaan Guno Tengoro berumur 200 tahun. Tingginya 2,25 m dan berdiameter dua
pelukan orang dewasa. Kentongan raksasa berbobot lebih dari sekuintal itu
difungsikan sebagai bas. Kentongan ini terakhir berada di tangan mantan Lurah
Desa Pilang yang memerintah di tahun 1940-an.
Dalam
penampilannya, Guno Tengoro mengusung sedikitnya enam kentongan tua (kasepuhan)
sebagai alat musik utama dan dilengkapi seperangkat kentongan bambu (kanoman/
balungan) yang berfungsi sebagai pengisi variasi bunyi (isen-isen). Kentongan
tersebut selanjutnya dimainkan dengan cara ditalu/ ditabuh dengan tongkat kayu
dan bambu. Selain itu sebagai penghasil melodi, ditambahkan alat musik gamelan
jenis demung atau terkadang saron.
Kentongan
kasepuhan umumnya terbuat dari kayu keras seperti kayu nangka,
trembesi, dan jati. Walaupun sebutannya adalah kentongan kasepuhan - sesepuh /
tetua - tapi para penabuh haruslah para pemuda berumur di bawah 25 tahun.
Konon, jika penabuhnya sudah uzur, suara yang terdengar tak akan menghasilkan
gema. Wallahuallam
Tak
ada yang tahu persis kapan mulanya seni kentongan ini muncul. Namun dari cerita
rakyat yang beredar, seni kentongan tua ini mulai dikenal warga tak lama
setelah pemerintahan Keraton Pajang di Kartasura runtuh.
Ini
berarti, seni tabuh kentongan telah ada setidaknya 300 tahun yang lalu. Masih
menurut tutur kaum sepuh desa; di masa silam, tetabuhan kentongan - klothekan
dalam bahasa setempat - dilakukan saat hajatan panen raya dan sedekah bumi,
yang kemudian ditutup dengan gelar wayang kulit. Tak ada yang tahu persis kapan
mulanya seni kentongan ini muncul. Namun dari cerita rakyat yang beredar, seni
kentongan tua ini mulai dikenal warga tak lama setelah pemerintahan Keraton
Pajang di Kartasura runtuh.
Ini
berarti, seni tabuh kentongan telah ada setidaknya 300 tahun yang lalu. Masih
menurut tutur kaum sepuh desa; di masa silam, tetabuhan kentongan - klothekan
dalam bahasa setempat - dilakukan saat hajatan panen raya dan sedekah bumi,
yang kemudian ditutup dengan gelar wayang kulit.
Guno
Tengoro dibentuk dengan semangat melakukan konservasi atas ragam kesenian lokal
khas masyarakat agraris. Karena bernuansa agraris, tak heran jika langgam Jawa
yang disajikan dalam tiap pentasnya bercerita tentang siklus perjalanan padi
dan petani.
Guno
Tengoro ingin mengingatkan khalayak luas tentang perjuangan kaum tani di
Indonesia dan menggugah rasa hormat terhadap tanaman padi. Langgam Jawa yang
dilantunkan pun berkisah tentang masa-masa sulit pangan di era kolonial
(Langgam Caping Gunung), suasana pesta panen di lumbung desa (Langgam Lumbung
Desa), ditumbuk kaum ibu dan disajikan untuk makan keluarga (Langgam Lesung
Jumengglung), dan kisah padi yang mampu memenuhi kecukupan pakan dan
menyejahterakan masyarakat (Langgam Jangan Koro).
Lagu-lagu
tersebut, diharapkan menjadi pengingat bagi manusia modern, agar lebih
menghargai proses tersedianya pangan di meja makan. Bagi Guno Tengoro, Padi
adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan, namun dia tidak begitu saja mudah
dicapai. Harus ada pengorbanan dan perjuangan. Selain itu, lagu langgam
tersebut seolah hendak mengajarkan tentang ketahanan pangan yang diwarisi dari
nenek moyang bangsa Indonesia.
Guno
Tengoro juga membawa misi edukasi historis dengan mengajak bernostalgi tentang
peran kentongan di jamannya. Jauh sebelum teknologi informasi berkembang pesat
seperti saat ini, kentongan memiliki peran penting sebagai alat berkomunikasi
dan penyampai isyarat yang mumpuni.
Maka,
di tengah-tengah pertunjukan, Guno Tengoro memperagakan jenis-jenis bunyi
kentongan yang mengabarkan tentang suatu peristiwa. Kabar tentang banjir,
maling kepergok, hewan ternak hilang, berita kematian, kebakaran, hingga
kondisi aman dapat disampaikan dengan isyarat bunyi ketukan
tertentu. Fungsinya mirip bahasa sandi dari alat Morse di kapal
laut.
Bahkan,
ini yang tidak diketahui banyak orang, bunyi kentongan dapat digunakan sebagai
isyarat oleh kepala desa/ lurah untuk memanggil perangkat desa maupun warganya.
Karakter kentongan yang fungsional itulah menjadi alasan bagi penamaan grup
Guno Tengoro. Artinya, berguna (Guno) sebagai penanda peristiwa (Tengoro)
Pada prinsipnya,
kegunaan kentongan dimasa lalu dan dimasa sekarang ialah sama yaitu untuk mengumpulkan orang dan
memberi tanda atau isyarat.
Sumber :
Terima kasih, artikelnya lengkap dan menarik.
BalasHapusApakah ada pemahaman seberapa jauh suara kentongan masih bisa terdengar?
Terima kasih sekali lagi.